Sosial Media dan Dakwah Santri Masa Kini

 

Oleh : Moh. Rifki*

Kita sedang hidup di era perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat. Kemajuan ini telah membawa masyarakat pada perubahan baru untuk memperoleh berbagai macam informasi yang efektif dan efisien. Sumbangsih kemajuan informasi dan tekhnologi terhadap kesejahteraan dan peradaban manusia tidak dapat kita pungkiri. Hal ini menjadi jawaban dari kemajuan globalisasi yang kiat menyelimuti dunia. Konsekwensinya, kita sebagai santri harus kritis dan tanggap terhadap banyak hal yang sudah berkembang. Kemajuan teknologi dan informasi harus kita jadikan peluang untuk bisa berdakwah di flatfom media sosial, seperti YouTube, Tiktok, Faceebok, Instagram dan semacamnya. Pemanfaatan teknologi untuk berdakwah ini menjadi senjata paling ampuh untuk memberikan wawasan baru kepada masyarakat luas. Dengan demikian, kita harus memiliki kemampuan komunikasi yang objektif. Bila di dunia nyata kita dituntut untuk berakhlakul karimah (berakhlak mulia), maka di dunia maya dituntut untuk bermidsosil hasanah (bermedia sosial yang baik).

RKH. Muhammad Muddatstsir Badruddin sering menyampaikan; bahwa santri harus mempunyai empat sifat yang dimiliki para Rasul, yaitu Shiddiq, Amanat, Tabligh dan Fathonah. Jujur, kreatif, profesional, dinamis dan imajinatif. Santri harus menjadi bagian dari subjek perkembangan zaman, dengan tetap mengikuti substansi ajaran para ulama terdahulu. Terlebih saat ini dunia sudah serba digital, kemajuan teknologi yang begitu cepat.

Kalam hikmah yang sering disampaikan oleh Mbah Moen Zubaer, Sarang "Orang berakal sebaiknya mengetahui perkembangan zaman dan bertindak sesuai keadaan zaman".

Santri di pesantren tidak hanya dituntut untuk membaca firman Allah berupa Al-Qur'an, menelaah sabda Nabi berupa Hadits dan mengkaji kitab-kitab salaf berupa kitab kuning, tapi santri harus menjadi Ibnu Zaman; bisa mencerna dan membaca keadaan zaman. Mempu memutihkan kitab kuning. Bisa bersaing dan berkompetisi.

Kalau dulu, santri yang kreatif sudah luar biasa, sekarang tidak, tapi juga harus inovatif; ada pembaruan dan bisa mencari kreasi-kreasi baru. Inovatif saja belum cukup, tapi harus kolaboratif; kerjasama dengan pihak-pihak yang lebih kompeten dan konstruktif. Kreatif, inovatif, dan kolaboratif masih belum cukup, tapi harus transformatif; maju ke depan, ambil peran dan terus mengikuti perkembangan zaman. Lulusan pesantren tidak harus menjadi Kiai dan Ustadz, mau jadi interprener, pembisnis, penulis, konten kreator, petani dan lain sebagainya, terserah, selama tidak menyimpang. Di manapun tempatnya, apapun keadaannya, dan sejauh apapun dunia membawanya, tetaplah menjadi santri yang hakiki. .

Pesantren tempat membangun pondasi, memperkuat dasar-dasar keilmuan, dan memperkokoh substansi. Sebagaimana perkataan KH. Sa’dulloh Bin Nawawi, Sidogiri, "Santri adalah bahan baku yang dikodok di pesantren”. Santri harus siap menjadi apapun, selama tidak bertentangan dengan aturan syariat. Mau jadi pejabat, silahkan, tapi pejabat yang santri. Mau jadi pembisnis, silahkan, tapi pebisnis yang santri. Mau jadi tukang kuli, silahkan, tapi tukang kuli yang santri. Mau jadi konten kreator, silahkan, tapi kreator yang santri. Dan seterusnya.

Dari sini terbukti, bahwa pesantren tidak hanya ingin melahirkan generasi yang Tafaqquh Fiddin; memahami dan mampu menjawab permasalahan yang sifatnya aktual dan perundang-undangan, tapi juga ingin mencetak generasi yang bisa bersaing dan mewarnai kehidupan di luar.

Coba kita amati; sosial media saat ini sudah banyak dikuasai oleh orang-orang yang tidak kelas, ngajinya dimana dan dari siapa. Mereka sudah berani tampil di permukaan, terlebih di media sosial. Membuat konten tentang keagamaan tanpa didasari kapasitas ilmu yang mempuni, apalagi soal hukum dan aqidah. Parahnya lagi, isinya digoreng dengan sambal kontroversi, fitnah, caci-maki, adu domba, dan semacamnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya seorang santri harus berani untuk mengambil peran. Kaum sarungan harus mampu meluruskan dan menyeimbangi hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran syariat.

Jangan salah meletakkan tawadhu', hingga di panggung atas dikuasai oleh orang-orang yang tidak jelas. Percaya diri itu sangat penting. Kalau santri yang sudah lama Ngaji di pesantren dan banyak mengkhatamkan kitab, lalu lebih memilih diam dengan alasan masih banyak kekurangan dan takut sombong, itu malah sikap yang tidak tepat. Kita bukan Nabi yang penuh dengan kesempurnaan. Bukan sahabat yang mendapatkan bimbingan langsung dari Rasulullah. Sehingga, media sosial yang harusnya diisi dengan konten yang positif malah dipenuhi oleh hal-hal yang negatif.

Sekian, terimakasih.

*Ketua DPM (Dewan Pengembangan Mutu) Pondok Pesantren Miftahul Ulum Panyeppen

Post a Comment

0 Comments